Sabtu, 29 Januari 2011

nilai dan harga iman

Dimaksud dengan “nilai” menurut istilah ekonomi ialah kemampuan yang membikin sesuatu menjadi sedemikian rupa.
Seperti misalnya satu liter beras mempunyai kemampuan untuk menghilangkan lapar dan atau membikin kenyangnya dua orang dalam satu waktu tertentu.
Sifatnya berlaku obyektif, yakni tidak tergantung kepada mau atau tidak maunya manusia terhadap yang demikian.
Dari itu nilai mengandung sajian alternatif obyektif.
Dan masalah “harga”, juga menurut istilah ekonomi, ialah jumlah yang Orang sedia mengorbankannya untuk mendapat nilai.
Misalnya orang mengorbankan uangnya sejumlah dua ratus rupiah untuk mendapat satu liter beras, uang dan sebagainya yang berfungsi menjadi alat penukar hanya berharga, tetapi harga itu sendiri tidak mengandung nilai yang dimaksud diatas.
Misalnya jikalau orang makan lembaran uang yang berharga dua ratus rupiah diatas dia tidak akan kenyang.

Dari itu maka “harga” hanyalah mengganti “nilai”, dan sifatnya berlaku subyektif, yaitu tergantung kepada suka atau tidak sukanya manusia.
Dengan demikian maka harga mengandung sajian alternatif subyektif.
Jadi “nilai Iman” ialah kemampuan isi Iman untuk membikin pendukung atau penyanjungnya menjadi menurut apa yang digambarkan/dijanjikan oleh isi atau materi Iman, yakni Al-Qur’an ms Rasul.“Dunia menjadi hasanah dan diakhirat hasanah”.

Sebaliknya “harga Iman” ialah jumlah yang harus dikorbankan untuk mendapat Iman atau menjadi mukmin yaitu mengorbankan segenap dirinya (nafsun jamaknya anfus/subyektifismenya) dan segenap harta kekayaannya menjadi milik Allah sehingga dia itu menjadi hamba atau abdi kehidupan menurut Allah yaitu menurut petunjuk Allah yakni Al-Qur’an ms Rasul-Nya untuk mencapai jannah atau hasanah.
Dan orang yang demikian dinamakan “mutawakkilun” dan Allah berfungsi “wakilun” atau “waliyyun”.
Perkataan Iman itu sendiri tidak akan menjadi sempurna kecuali jika dihubungkan dengan perkataan lain. Artinya “nilai dan harga Iman” ditentukan oleh sesuatu yang lain.
Dengan lain perkataan maka perkataan “Iman” belum bernilai dan berharga kecuali dia diikat atau digandeng dengan sesuatu yang lain yaitu ajaran atau Ilmu.

Dan sebagai bukti dapat kita ajukan antara lain Surat 002 Al-Baqarah ayat 4, demikian :

4 “ (yang dinamakan muttaqien) yaitu yang hidup berpandangan dan bersikap dengan yang telah diturunkan ms anda (al-qur’an ms Muhammad SAW), yakni sama dengan yang telah diturunkan ms Rasul-Rasul sebelum anda, dengan mana mereka menyakini mencapai tujuan terakhir (hasanah di dunia dan hasanah di akhirat) dalam keadaan bagaimanapun ”. 
Dengan pembuktian ini menjadi jelas bahwa “nilai” dan “harga” dari perkataan Iman ditentukan oleh “yang telah diturunkan ms anda (al-qur’an ms Muhammad SAW)”.
Sebaliknya Al-Qur’an memberi “nilai dan harga” ini tidak hanya dengan Al-Qur’an ms Rasul saja, tetapi bahkan dengan sembarang ajaran apapun.

Sebagai bukti untuk yang demikian dapat kita ajukan antara lain Surat 029 al an - kabut ayat 52 :

52 “(Tegaskan, hai Muhammad/orang ber-Iman) : “Cukuplah Allah, dengan pembuktian al-Qur’an ms Rasul-Nya, menjadi pemberi kesaksian diantara saya yang hidup berpandangan dan bersikap dengan yang demikian dan kalangan kalian yang hidup berpandangan dan bersikap dengan dzulumat ms sy. Dia (Allah), dengan al-Qur’an ms Rasul-Nya, yang meng-Ilmu-i segala kehidupan organis dan biologis dan begitu kehidupan sosial budaya. Dan mereka yang hidup berpandangan dan bersikap dengan ajaran Bathil, yaitu mereka yang bersikap negative terhadap ajaran Allah (al-Qur’an ms Rasul-Nya) niscaya mereka yang demikian adalah yang hidup rugi/perusak kehidupan dimana sajapun”. 
Arti “ajaran bathil” oleh Surat 004 An - Nisaa ayat 51 - 52 dijelaskan demikian :
51 “Tidaklah kalian melihat, dengan pembuktian al-Qur’an ms Rasul ini, terhadap mereka yang telah mendapat nasib kehidupan sial dari para ahli kitab, mereka hidup berpandangan dan bersikap menurut ajaran Idealisme dan Naturalisme, dengan mana mereka berkata kepada yang, atas pilihan dz ms sy, bersikap negatif terhadap ajaran Allah ms Rasul-Nya bahwa dibanding dengan mereka yang hidup berpandangan dan bersikap dengan ajaran Allah ms Rasul-Nya, mereka itu memiliki sistem kehidupan yang lebih ilmiah adanya”. (an-Nisa ayat 51).

52 “Yang demikian itu adalah mereka yang, atas pilihan aduk-adukan Nur-dz ms sy, oleh Allah, dengan pembuktian al-Qur’an ms Rasul-Nya, telah melaknatkannya. Sehingga siapapun yang oleh Allah, dengan pembuktian al-Qur’an ms Rasul-Nya, telah melaknatkannya maka pasti akan kalian dapati, bagi mereka yang demikian itu, kelak tidak ada yang mau mengikutinya (S. an-Nisa ayat 52).
Lebih lanjut arti “thagut” yang kita terjemahkan menjadi Naturalisme, oleh Surat 002 Al-Baqarah ayat 257 menjelaskan demikian :
257 “Allah, dengan al-Qur’an ms Rasul-Nya, adalah pembimbing mereka yang hidup berpandangan dan bersikap menurut yang demikian, yang membebaskan mereka dari pengaruh dzulumat ms syayathin menuju kehidupan Nur ms Rasul. Sebaliknya mereka yang, atas pilihan dzulumat ms sy bersikap negatif terhadap ajaran Allah ms Rasul-Nya, maka pembimbing mereka itu adalah thagut, yang memutar balik mereka dari Nur ms Rasul menuju dzulumat ms syayathin. Mereka yang demikian itu adalah pendukung kehidupan yang bagaikan si Jago Merah, memusnahkan segala, dimana mereka terus menerus demikian dalam keadaan bagaimanapun”.
Dari pembuktian-pembuktian diatas dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an ms Rasul memberikan “nilai” dan “harga” kepada perkataan “Iman” menjadi dua golongan, yaitu “nilai dan harga” Nur ms Rasul dan atau “nilai dan harga” dzulumat ms syayathin.
Surat 017 Bani Israil ayat 9-11 memperjelas masing-masing ini demikian :

9. “Sesungguhnya al-Qur’an ms rasul ini memberi pedoman kearah satu kehidupan lebih tangguh yaitu menghamparkan satu kehidupan gembira untuk mukmin yang berbuat tepat menurut yang demikian, bahwa bagi mereka yang demikian adalah satu imbalan kehidupan agung tiada tara”.

10.“Dan sesungguhnya yang tidak mau hidup berpandangan dan bersikap menurut yang demikian niscaya KAMI, bagi mereka yang demikian, atas pilihan dzulumat ms syayathin, akan menimpakan satu kehidupan azab lagi pedih tiada tara”.

11.“Dan manusia (terhadap alternatif obyektif dari al-Qur’an ms Rasul ini) dipersilakan melakukan alternatif subyektif dengan dzulumat ms syayathin dengan satu kehidupan celaka, atau dengan Nur ms Rasul dengan satu kehidupan bahagia. Dan adalah manusia itu keburu nafsu dalam pilihan hidupnya”.

Dengan demikian maka nilai dan harga Iman diperinci menjadi Iman yang bernilai dan berharga “hasanah” yakni al-Qur’an ms Rasul dan “sayyi-at” yaitu ajaran-ajaran bathil yakni penyalah gunaan dzulumat ms syayathin,
seperti dibuktikan oleh Surat 098 Al-Bayyinah ayat 1 demikian :
 
1 “Tidak adalah mereka yang, atas pilihan dzulumat ms syayathin, melakukan berbagai pandangan dan sikap negatif terhadap ajaran Allah ms Rasul-Nya yang terdiri dari para ahlulkitab dan pendukung. Naturalisme (yang hidup dualisme dengan dzulumat ms syayathin) kecuali menjadi penyalah guna dan atau pengaduk dzulumat ms syayathin, setelahnya mereka mendapat satu pembuktian Ilmiah dari Allah ms Rasul-Nya yang demikian patah”
Dengan demikian arti dari “nilai Iman” disini ditekankan kepada Ilmu atau ajaran, seperti Ilmu dan ajaran Allah yakni al-Qur’an yang mampu membangun pendukungnya kedalam posisi yang dijanjikan yaitu “hasanah di dunia dan di akhirat”.
Sebaliknya Ilmu dan ajaran-ajaran bathil menjerumuskan pendukungnya kedalam kehidupan jahat.

Sedang “harga Iman” ditekankan kepada menurut sunnah Rasul dan yang mendukungnya, yaitu jumlah yang telah mereka korbankan dari seluruh hidupnya hingga mencapai mukmin, atau “menurut sunnah syayathin”, yaitu jumlah yang telah dikorbankan oleh pendung dzulumat menjadi dzalim yakni pengrusakan diri dan kehancuran materi dalam kehancuran segenap kehidupan.
Untuk lebih memperjelas tentang sifat, jenis dan hakikat dari “harga Iman’ maka mari kita petik kembali Surat 009 At-Taubah ayat 111 :
111 “Sebenarnya Allah, dengan al-Qur’an ms Rasul-Nya, telah membeli dari mukmin (yang hidup berpandangan dan bersikap dengan al-Qur’an ms Rasul) dirinya (termasuk ke akuan nya) dan seluruh harta kekayaannya (menjadi milik Allah), bahwa bagi mereka yang demikian itu berhak atas jannah (satu kehidupan hasanah di dunia dan hasanah di akhirat), dimana mereka siap tempur untuk ketahanan penataan ajaran Allah (al-Qur’an) ms Rasul-Nya sehingga mereka mampu membunuh dan sedia dibunuh, merupakan satu ikatan janji menurut-Nya yang secara obyektif tersebut didalam Taurat ms Musa, didalam Injil ms Isa, dan didalam al_Qur’an ms Rasul Muhammad SAW. Dan siapa yang sudah menyempurnakan Imannya menjadi satu ikatan janji dengan ajaran Allah (al-Qur’an) ms Rasul-Nya (Piagam Aqabah II) maka gembirakanlah mereka, sesuai dengan yang kalian menjanjikan mereka dengan al-Qur’an ms Rasul, menjadi satu ikatan perjanjian diantara kalian (Piagam Yastrib). Dan yang demikian itu Dia (Allah), dengan al-Qur’an ms Rasul-Nya, adalah Pembina kemenangan hidup tiada tanding”.
Dengan demikian, dari hasil pembuktian “nilai dan harga Iman” maka terbukalah jalan untuk memberi definisi tentang Iman yang mendekati secara obyektif.

2 komentar:

  1. assalamualatkum wr.wb. tafsir alquran yg ditampilkan berbeda dengan tafsir alquran trjemahan depag dan tafsir alkitab yg lain jadi mnurut sy perlu adanya panduan untuk mempelajari tafsir yg ditampilkan dalam tulisan ini agar dengan mudah dapat dipahami. terimakasih mohon penjelasan?

    BalasHapus
  2. assalamualaikum @anonim, saya coba membantu untuk menjawab. ini bukan berbeda, tetapi lebih menguraikan lagi dari definisi yang ada pada terjemahan umum, agar lebih mendalami lagi dan mudah memahami lagi secara makna dan pengertian tujuannya adalah agar terjadi kecocokan antara teori dan praktik, penafsiran diatas terurai karena berdasarkan tata bahasa yang merinci dengan melihat berbagai jenis kata (kata benda, kata kerja, kata keterangan waktu, kata keterangan tempat, kata pengganti pihak pertama atau pelaku (subjek), kata pengganti pihak kedua atau yang dikenai pekerjaan (objek), dan kata dasar. sehingga dari kesemuanya itu disesuaikan antara konteks kata dan kalimat. untuk memahami penafsiran yang ada pada postingan ini memang harus dalam diskusi langsung dan sharing keilmuan serta melihat refrensi tafsir umum dan uraian tata bahasa al quran serta mengamati praktik yang telah dilaksanakan, apakah sudah tepat atau perlu diluruskan kembali.

    mudah-mudahan jawaban tersebut dapat membantu, walaupun sudah berlalu 5 tahun yg lalu, setidaknya bagi yang melihat posting ini agar lebih memahami lagi maksud, tujuan dan maknanya :)

    #indahnyadiskusidanberbagiilmubersamadalamislam

    BalasHapus

mohon ma'af sebelumnya kalau ada kekurangan,
silahkan berkomentar,