Sabtu, 29 Januari 2011

Benarkah iman berarti percaya????????????

BENARKAH ..... “ IMAN ..... berarti PERCAYA “ ..... ?

Begitu mendengar istilah “ IMAN “ maka massal manusia dalam kehidupan abad ke 20 menanggapi “ IMAN ialah PERCAYA “

Untuk membuktikan Konstatering tersebut diatas maka pertama-tama kita petik tanggapan Yahudi dan nasrani yang menganggap “ IMAN itulah Percaya ……” [1]

Selanjutnya untuk lingkungan Islamisme, khususnya di Indonesia , Kita petik tanggapan Doctor HAMKA yang juga menganggap “ IMAN ……Berarti Percaya ” , dan ISLAM yang berarti menyerah dengan segala senang hati dan rela, timbulnya ialah setelah akal itu sendiri sampai pada ujung perjalanan yang masih dapat dijalaninya.

Oleh sebab itu maka bertambah tinggi perjalanan akal, bertambah banyak alat pengetahuan yang dipakai, pada achirnya bertambah tinggi pulalah martabat Iman dan Islam seseorang [2] . “

Maka Kalimat IMAN dan ISLAM, Percaya dan Menyerah , adalah dua kalimat yang tidak bercerai selama-lamanya “ [3] “

Perpaduan yang tidak terpisahkan diantara Kepercayaan dan Penyerahan, diantara Aqidah dan Ibadah, diantara pengakuan hati dan perbuatan, itulah agama yang sewajarnya. Maka Agama itulah yang dinamai Agama Islam “ [4] .

Seterusnya kita petik lagi tanggapan M.Hasbi Ash Shiddiqi yang juga menganggap IMAN ialah : Engkau ber – iman (membenarkan dengan lidah dan hati) akan Allah, akan Malaikat, akan berjumpa dengan Allah, akan Rasul2 - NYA dan Akan Bangkit [5].

“ Iman itu mempercayai “(Mengetahui ) akan ke – Tuhanan-NYA Allah dan tempatnya (Iman ) didalam dada, Yakni hati itu.

Ma’rifat itu , mengetahui Allah akan segala sifat-sifatnya. Tempatnya (Ma’rifat) didalam lubuk hati , yakni didalam Fuad. Tauhid itu , mengetahui Allah (menyakini Allah) dengan ke- Esaan-NYA .

Tempatnya , didalam lubuk Fuad ; dan itulah yang dinamai ‘SIRR” (rahasia) “ [6]).

Selanjutnya M.Hasbi Ash Shiddiqi membikin perincian Tauhid itu , ringkasnya, terbagi kepada :

1. Tauhidudz - Dzat (Meng-Esakan Dzat Tuhan).

2. Tauhidul – Shifat (Meng-Esakan Sifat-2 Tuhan).

3. Tauhidul – Wujud (Meng-Esakan Wujud Tuhan).

4. Tauhidul - Af ’aal (Meng-Esakan perbuatan Tuhan).

5. Tauhidul - Ibadat (Meng-Esakan yang di sembah dan meng-Esakan tempat bermohon)

6. Tauhidul – Qishdi wal Iradah (Meng-Esakan yang dituju).

7. Tauhidul – Tasyrie’ (Meng-Esakan yang berhak menetapkan pokok-2 undang 2).[7] )


Akhirnya M.Hasbi Ash Shiddiqi mengolah Hadits Bukhari [8] ) dan menyimpulkan kedudukan Iman itu demikian “ bahwa DIEN itu, IMAN, ISLAM dan IHSAN “, Sebagian dari susunan Agama dinamai : “ IMAN, Sebagian lagi dinamai ISLAM dan sebagian lagi dinamai : IHSAN

Akan tetapi penerangan hadits ini tidak boleh dijadikan , bahwa : IMAN, ISLAM, DAN IHSAN, berlain-lainan haqikatnya dan bersaing-saingan.

Sebenarnya masing-2 kalimat ini menunjukan kepada haqikat “ A DIEN “ . Masing-2 memerlukan yang lain ; tiada terlepas dari yang lain.

Nabi melain-lainkan sebutan : Iman, ini, ini, ini, ; Islam, ini, ini, ini, ; dan Ihsan, itu, itu, itu ; adalah buat memudahkan jawaban lantaran penanya menanya : Apa itu IMAN, apa itu ISLAM, dan apa itu IHSAN.

Maka Nabi menjawab dengan sangat bijak untuk masing – masing pertanyaan diasingkan (di lainkan) jawab. Kemudian di akhir hadits , nabi tegaskan bahwa semua itu ‘ AD DIEN ‘ = Agama [9])

Atas satu tanggapan tentang yang dimaksud oleh hadits Bukhari “ IMAN itu tersusun dari 69 atau 79 cabang “ maka M.Hasbi Ash Shiddiqi meng-konkritkan kedudukan “ IMAN menjadi bagian dalam rangka Dinul Islam keseluruhan nya, kita petik sebagai berikut, seperti tersebut berikut ini ;


AD DIENUL ISLAMY


(AGAMA ISLAM DAN RANGKA – RANGKA (ANASIR – ANASIR) BANGUNANNYA)


I. ‘ AMALAN BATHIN


A. KEPERCAYAAN

1. Iman akan Allah

2. Iman akan malaikat

3. Iman akan kitab2 Tuhan

4. Iman akan rasul-rasul Allah

5. Iman akan Qadla dan Qadar

6. Iman akan hari Kesudahan

(Rangka yang enam ini dinilai : ARKANUL IMAN, Dasar-dasar Rangka)


B. BUDI PEKERTI

1. Mencintai Allah

2. Mencintai dan membenci karena Allah

3. Mencintau Rasul

4. Ichlas dan benar

5. Taubat dan nadam

6. Takut akan Allah

7. Harap akan Allah

8. Syukur

9. Menepati Janji

10. Shabar

11. Ridla akan Qadla

12. Tawakal

13. Menjauhkan Ujub dan Takabur

Dsb


II. ‘ AMALAN DHAHIR


A. AMALAN ANGGOTA LIDAH


1. Mengucapkan Dua kalimah Syahadah

2. Membaca Al-Qur’an

3. Mempelajari dan mengajari Ilmu

4. Berzikir dan bertilawat.Dan bertahmid

5. Ber-Istigfar dan ber-doa

6. Menjauhkan perkataan yang sia-sia (karut-Marut)



B. TUGAS HIDUP UNTUK DIRI SENDIRI


1. Bersuci

2. Menutup Au’rat dan berpakaian

3. Mendirikan Shalat

4. Mengeluarkan Zakat,Sedekah dan Infaq

5. Memberi makan Fakir – Miskin dan mengurus anak yatim

6. Memuliakan Tetamu

7. Mengerjakan Puasa

8. Mengerjakan Haji dan Umrah

9. Melepaskan Nadzar

Dsb



C. TUGAS HIDUP UNTUK KELUARGA


1. Bernikah (menegakan Rumah Tangga)

2. Memenuhi hak keluarga

3. berbakti kepada Dua Ibu – Bapa

4. Mendidik anak dan keluarga

5. Menghubungi Shilat dengan kerabat

6. Menyayangi budak, pelayan dan buruh



D. TUGAS HIDUP UNTUK UMUM


1. Memerintah dengan Adil dan Insyaf

2. Mengikuti jama’ah

3. Menetapkan sesuatu berdasarkan SYUURAA

4. Menta’ati putusan ULUL AMRI (Parlemen)

5. Memperbaiki perhubungan manusia yang bersengketa

6. Bertolong – menolong

7. Menyuruh Ma’ruf menegah munkar

Dsb


Demikianlah kita petik kenyataan tanggapan di Indonesia dalam abad ke – 20 yang menganggap “ Iman ..... berarti percaya “, disamping mempunyai pararelisasi dengan pendirian Yahudi dan nasrani yang juga menganggap “ Iman itulah percaya ....... “ , maka yang demikian itu adalah pengaruh langsung dari tanggapan Arab tentang istilah “ Iman “ yang terkandung didalam Al-Qur’an menurut sunnah Rasul.

Sebagai pembuktian maka dibawah ini kita petik tanggapan Syekh Muhammad Abduh , yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa indonesia [10], demikian “ ..... bahwa Iman ialah, Keyakinan dalam kepercayaan kepada Allah , kepada Rasul-NYA dan kepada hari yang Achir tanpa terikat oleh suatu apapun , kecuali harus menghormati apa-2 yang telah disampaikan dengan perantaraan lisan para Rasul Tuhan [11] “.

“ Tauhid adalah satu ilmu yang membahas tentang “ Wujud Allah “ , tentang sifat-2 yang wajib tetap pada-NYA, sifat-2 yang boleh disifatkan kepada-NYA dan tentang sifat-2 yang sama sekali wajib dilenyapkan dari pada-NYA ;

juga membahas tentang Rasul-2 Allah, meyakinkan ke-Rasul-an mereka, meyakinkan apa yang wajib ada pada diri mereka, apa yang boleh dihubungkan (Nisbah) kepada diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkannya kepada diri mereka “ [12].

Maka yang demikian menjadi jelas bahwa Ilmu Tauhid membikin ujud Allah menjadi sasaran atau object Study nya.

“ Ilmu tauhid itu dinamakan orang “ Ilmu Kalam “. Ialah karena dalam memberikan dalil tentang pokok (Usul) agama, ia lebih menyerupai logika (Mantiq).

Sebagaimana yang biasa dilalui oleh para ahli pikir dalam menjalankan seluk-beluk Hujjah tentang pendiriannya.” [13] “......... dinamakan juga ia ilmu kalam ialah karena adakalanya masalah yang paling masyhur dan banyak menimbulkan perbedaan pendapat diantara ulama-2 kurun pertama yaitu : apakah “ Kalam Allah “ (Wahyu) yang dibacakan itu “ Baharu “ [14] atau “ Kadim “ [15] .

Dan adakalanya pula, karena ilmu Tauhid itu dibina oleh Dalil Akal (Ratio) [16], dimana bekasnya nyata kelihatan dari perkataan setiap para ahli yang turut berbicara tentang ilmunya itu “ [17].

“ Awal masalah yang menimbulkan pertikaian diantara mereka, adalah masalah “Ikhtiar “ [18] , kebebasan kemauan manusia dan perbuatanya dengan ikhtiar itu, dan masalah tentang orang yang melakukan dosa besar, sedang ia tidak tobat.

Dalam masalah tersebut , pendapat Wasil bin ‘ Atha ‘ , telah berbeda dengan pendapat gurunya, Hasan al Basri [19] , Wasil kemudian memisahkan diri dari gurunya , yang lantas mengajarkan pokok-2 agama, baik yang diterima dari gurunya ataupun pendapatnya sendiri.

Akan tetapi dalam masalah itu , kebanyakan kaum salaf [20] , diantaranya termasuk Hasan Basri sendiri , setuju dengan pendapat , bahwa seorang hamba , bebas melakukan perbuatan-perbuatannya yang ditimbulkan oleh Ilmu dan kemauannya [21].

Golongan Jabariyah [22] membantah pendapat itu dan berpendirian , bahwa manusia dalam segala kehendak perbuatannya tak ubahnya seperti ranting-2 pohon kayu yang bergerak lantaran terpaksa belaka [23].

“ Ditengah – tengah situasi yang seperti ini pulalah timbulnya sengketa diantara golongan-2 yang berlebih – lebihan kemerdekaan berpikir dengan golongan pertengahan (Moderat) , atau dengan golongan yang terlalu teguh berpegang kepada lahir Syari’at belaka [24] “ [25]. “


Dibelakang mereka ini , terdapat lagi golongan yang menganggap dirinya telah berhubungan bathin dengan Tuhan sehingga mereka mengatakan , bahwa Tuhan telah bertempat dalam dirinya (Hulul, Immanent) ; atau kaum Materialis – Atheis (Dahrijun), yang berusaha hendak membawa Al-Qur’an ke arah lain , sesuai dengan pendirian mereka , yang selama ini telah di Infiltrasikan nya kedalam Islam [26]

“ Mereka ini (yang telah berhungan Bathin dengan Tuhan) terkenal juga dengan nama Kaum ‘ Kebathinan ‘ (Bathiniyah) atau ‘ Ismailiyah ‘ [27] “ [28]

“ Disekitar masa inilah [29] tumbuhnya ‘ Ilmu Tauhid ‘ , tetapi belum begitu sempurna berkembangnya dan belum begitu tinggi mutunya.

Dan mulailah pembicaraan tentang ‘ Ilmu Kalam ‘ [30] , Yakni dengan menghubungkannya kepada pokok pikiran tentang kejadian Alam, sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an tentang hal itu “ [31]

“ Adapun mazhab Filsafat [32], maka ia senantiasa mendasarkan pendapatnya kepada pikiran semata-mata.

Dan tidak ada cita-cita kaum Filsafat itu kecuali untuk menemukan Ilmu dan menyempurnakan apa yang membawa kepuasan akalnya dalam membukakan tabir rahasia sesuatu yang belum diketahui, atau mengemukakan apa yang menjadi hasil pikiran akal “ [33].

“ Telah banyak simpang siurnya faham Wasil dan pengikut-pengikutnya. Diantaranya, mereka berpendapat Ilmu pengetahuan dari buku – buku Yunani [34], sesuai dengan kemampuan mereka “ [35].

“ Tetapi, namun demikian hebatnya pertengkaran diantara mereka , hal itu tidaklah menjadi halangan bagi masing-masing pihak untuk memperdalam Ilmu dan mengambil sesuatu yang berfaedah [36] bagi mereka tentang ke- Ilmu-an, Oleh salah satu pihak dari yang lainnya atau sebaliknya .

Keadaan itu berlangsung pula sedemikian rupa , sehingga muncul pula Syech Abu Hasan Al Asy’ary, pada awal kurun ke Empat (Lahir tahun 270 H) beliau berjalan ditengah, yakni keyakinan kaum Salaf dan keyakinan orang yang menentang mereka (suatu Syntese) [37].

Ia menetapkan pokok kepercayaan (Aqidah) menurut pokok-2 yang sesuai dengan tujuan akal [38].

Tetapi kaum Salaf meragukan kebenaran pendirian beliau itu dan banyak diantaranya yang menyerang Aqidahnya yang demikian itu, sehingga pengikut – pengikut mazhab Hambali, meng-Kafir-kan pendirian itu dan menghalalkan darah orang yang menganutnya.

Sebaliknya, kemudian Beliau dibela oleh satu Jama’ah ulama-ulama terkemuka, diantaranya seperti Abu Bakar Al Baqilani, Imam Haramin, Imam Al As Faraini dan lain-lain.

Dan pendirian beliau ini mereka namakan dengan mazhab Ahli Sunah Wal Jama’ah[39]

M. Hasbi Ash Shiddiqi mengemukakan latar belakang dari anggapan “ Iman... berarti Percaya “ dan “ Ilmu Tauhid ....”, demikian “ .....Abu Hasan Al Asy’ary (Wafat pada tahun 330 H) yang telah mempelajari Ilmu Kalam pada ‘ Ali Al-Jubaa-ie dan mengikuti paham Muktazilah 40 Tahun lamanya, hingga mendapat kedudukan Istimewa dalam mazhab Muktazilah itu.

Sesudah sekian lama beliau berkecimpung dalam laut Muktazilah , pada suatu hari beliau memproklamirkan keluar nya dari mazhab muktazilah itu.

Berbaring dengan pengumumannya itu, beliau lalu menulis buku dalam ilmu kalam. Didalam kitab itu beliau tegaskan bahwa pendapatnya dalam soal Tanzich [40], serupa dengan pendapat salaf, sambil menolak dan membantah faham-2 muktazilah yang terus di anut oleh teman-2 nya dahulu.

Dimasa itu pula lahir lagi seorang ahli Kalam, Abu Mansur Al Maturidy (Meninggal pada tahun 333 H) [41], dengan mempunyai pendirian yang berdekatan dengan Abu Hasan, Abu Mansur mengarang beberapa buah kitab menolak faham golongan yang telah lahir di masanya itu,

Beberapa lama kemudian lahirlah Abu Hamid Al Ghazaly (meninggal pada tahun 505 H). Imam besar ini memperhatikan segala tulisan yang telah ditulis dan disusun oleh Asy’ary dan Al Maturidy dan pengikut-2nya.

Al Ghazaly serta pengikut-nya berkata : Kedua-dua Imam besar itu mempunyai keutamaan yang besar dalam soal membenarkan kepercayaan umat, akan tetapi , masih ada juga yang perlu dikoreksi.

Maka Al Ghazaly pun membuat bantahan-2 terhadap pengikut-2 Al Asy’ary dan Al Maturidy, sebagaimana beliau menyusun bantahan-2 terhadap kaum Falsafah.

Al Ghazaly lah permulaan penulis yang menulis Ilmu Tauhid bercampur Falsafah.

Kemudian dari itu bangunlah ulama ulama Persie menambahkan banyak soal falsafah masuk kedalam ilmu kalam dan terjadilah berbagai perselisihan, bantah-membantah, hingga porak-porandalah ilmu dan menjadi sia-2lah kita mencahari ilmu Kalam dalam buku-buku yang bercampur-baur itu.

Lama kemudian bangun pula segolongan ahli Nadhar memperhatikan isi kitab kitab tulisan ulama persie, dan lalu menulis beberapa buah kitab yang tersusun dari berbagai rupa faham dengan memuatkan dan mendahulukan faham Asy’riyah.

Dalam hal yang demikian, mereka masukkan kedalam kitab-2 itu berbagai-bagai dalil yang berdasarkan sangkaan ; dan terus dengan berangsur-angsur faham-2 itu tersemi dalam lubuk jiwa pelajar-2nya.

Dengan demikian timbul pula penyakit baru. Kitab-2 ini mereka namai : Mutaachirin dan dialah kitab-2 yang dipelajari penuntut2 ilmu tauhid ditanah air kita, disurau-surau dan dipesantren-pesantren, bahkan disekolah-sekolah juga.

Dengan memperhatikan periode-2 yang telah dilalui Ilmu Tauhid tahulah kiranya sudah, apa sebabnya ilmu tauhid itu bercampur dengan falsafah ;

Sehingga apabila kita ambil iktikad dari kitab itu, berarti kita ambil Aqaa-id dan falsafah. Mengambil aqaa-id yang bersih, tidak mudah lagi dari kitab-2 itu [42].

Akhirnya M.Hasbi Ash Shiddiqi , sambil me-reklame-kan bukunya, mengimpikan ‘Tegaknya benang basahnya ‘, “ Maka, mengingat ini dan itu, “ Al Islam “ ini, mengemukakan kepada pembaca Aqiedah-2 yang terbetik dari Al-Qur’an, sebagai satu usaha mempersatukan aqiedah umat yang mewujudkan persatuan yang kokoh erat.

Dengan demikian, berartilah kami kemukakan : Aqiedaah yang bersih yang terlepas dari falsafah. Allahumma waffiq ! “ [43] .

Demikianlah kita kutip “ Iman ... berarti Percaya “ yang sudah menjadi tanggapan abad ke 20. Dari bukti-bukti kutipan tersebut menjadi jelas bahwa sesungguhnya tanggapan “ Iman ... berarti Percaya “, dilihat dari sudut Sistematika, adalah didasarkan kepada anggapan Klassifikasi dan specialisasi ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an menurut sunnah Rasul, menjadi ajaran-ajaran Tauhid, Fiqih, Akhlaq dan Tasauf .

Dan lebih unik lagi adalah anggapan M.Hasbi Ash Shiddiqi yang membikin klasifikasi dan specialisasi yang demikian itu kearah “ AMALAN BATHIN “ dan “AMALAN DHAHIR “ menjadi Klasifikasi “ AD DINUL ISLAM “, seperti kita petik diatas.

Dan yang penting ditanggapi disini ialah tanggapannya yang hendak membikin pohon IMAN menjadi hanya salah satu cabang belaka dan cabang Dinul Islam dibikin menjadi pohonnya. Satu model cangkokan yang aneh dan ajaib, lebih lucu dari cerita seribu satu malam.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa, betapapun aliran-aliran Islamisme dalam abad ke – 20 ini terpecah belah, apakah dia Mazhab Qadariyah : Mu’tazilah dan Khawarij , maupun Mazhab Jabariyah : Syi’ah dan berbagai aliran Tasauf, Tariqat dan Mistik dsb, namun satu jua Sistimatiknya yaitu Tauhid, Fiqih, Akhlaq dan Tasauf .

Dari itu maka tanggapan IMAN – nya pun bersatu menjadi “ Iman ... berarti Percaya “ Dan kalaulah benar – benar bersatu dalam Iman nya itu maka mengapa, sepanjang sejarah selama tiga belas abad sepeninggalan nabi Muhammad Saw, sampai dengan abad ke – 20 ini , terus menerus dalam keadaan .............. [44], yaitu saling cekcok dan saling baku hantam diantara sesamanya.

Demikianlah kita petik “ Iman ... Percaya “ yang sudah representatif menjadi alternatif – subyektif kehidupan abad ke 20, baik untuk tingkat nasional indonesia dan lain-lain tingkat nasional khususnya dan tingkat internasional umumnya.

Sesungguhnya Alternatif – Subyektif “ Iman ... Percaya “ dari masing – masing tingkat kehidupan nasional , khususnya di indonesia , dan di seluruh dunia umumnya, dalam abad ke 20 sekarang ini, bukanlah satu pertumbuhan dan perkembangan dari dalam tetapi yang demikian adalah pengaruh langsung dari tanggapan Arab terhadap istilah Iman yang terkandung dalam Al Qur’an, yang mempunyai Alternatif – Obyektif tersendiri dari Allah menurut sunnah Rasulnya.

Untuk itu maka, satu pertanyaan besar akan timbul, benarkah “ Iman “ itu .... berarti percaya ? Benarkah sistematik Tauhid, Fiqih, Akhlaq dan Tasauf itu bernilai Alternatif – Obyektif dari Allah yaitu Al Qur’an menurut sunnah Rasul - NYA ? Bagaimanakah jawaban “ IMAN “ yang sebenarnya oleh Al Qur’an menurut sunnah Rasul ?

3 komentar:

  1. Setelah guruku sakit dan tidak bisa mengajariku kembali, Allah membimbingku untuk sampai di blog ini, terima kasih dan terus posting agar aku dapat menapaki kehidupan Nur menurut sunnah Rasul dan jauh dari dzulumat ms syayathin, amiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah mas sardi,sy jg sudah di antar ke blog ini,tp sayang seperti'y yg punya blog sudah tidak aktif lagi,kalaupun begitu sy tetap berterima kasih,karena melalui dia ALLAH membingbing sy,
      kita semua tidak usah kwatir kalaupun tidak menerima ILMU_NYA secara koordinatif karena janji ALLAH :
      "Siapa yg sungguh2 mau untuk hidup dgn satu ajaran menurut sunnah rasul_NYA,niscaya DIA (ALLAH) akan menunjukinya/membingbing kearah yg dituju dan dengan cara yg bagaimanapun"
      Yakinlah...!!

      Hapus
  2. Mantafff...
    Maju tak gentar......
    Tapi kalo di suruh maju MT ya keringetan juga. He..he..

    BalasHapus

mohon ma'af sebelumnya kalau ada kekurangan,
silahkan berkomentar,